Mengungkap jejak leluhur presiden Sukarno di Grobogan
GROBOGANCyberMedia (GCM) -- Setelah mengobrak-abrik perpustakaan pribadi saya, saya menemukan buku berjudul Menyingkap Asal Usul Bung Karno
ini dalam keadaan covernya sudah lusuh. Ada bagian cover yang
mengelupas, sehingga sebagian judul buku ini terpenggal tak terbaca.
Dalam
buku tipis karya Sugeng Haryadi ini dikupas jejak leluhur presiden
pertama Republik Indonesia, Ir. Sukarno, atau yang akrab disapa Bung
Karno. Ternyata leluhur Bung Karno pernah tinggal dan menetap di
Grobogan, tepatnya di Desa Kalirejo, Kecamatan Wirosari.
Bagaimana
itu bisa terjadi? Awalnya bermula ketika Raden Mangoendiwirjo menjadi
Wedana Pamajekan di Wirosari Kabupaten Grobogan. Di Wirosari itu, Raden
Mangoendiwirjo kawin dengan putri setempat. Mereka menurunkan 8 putra
dan seorang putri, di antaranya adalah Raden DanoWIekromo
(diperkirakan lahir tahun 1804). Jadi, saat perang Diponegoro meletus,
Danoewikromo sudah merupakan pemuda yang berumur 20 tahun. Ia pun
dikabarkan turut berperang memimpin pemuda sebayanya di Desa Kalirejo,
Wirosari.
Ketika
perang usai, ia kembali ke daerahnya dan menyunting seorang putri di
Wirosari. Hasil perkawinan itu menghasilkan empat putra dan seorang
putri, yakni: Raden Kromoatmojo, Raden Soemodiwirjo, Raden
Mangoendiwirjo, Raden Nganten Kartodiwirjo dan si bungsu, RADEN
HARDJODIKROMO yang tidak lain dan tidak bukan adalah kakek Bung Karno.
Setelah
menginjak dewasa, Raden Hardjodikromo (lahir kurang lebih tahun 1840)
menjadi carik (juru tulis) di Desa Kalirejo, Wirosari, sementara
kakaknya Raden Mangoendiwirjo menjadi lurahnya. Mereka berdua
menggantikan para pamong desa sebelumnya yang telah lanjut usia. Tentu
saja, jabatan pamong desa itu bukan hal yang sulit diperoleh, karena
kakek mereka adalah tokoh di Kawedanan Wirosari dan ayah mereka prajurit
pengikut setia Pangeran Diponegoro yang dihormati.
Dalam
perjalanannya, di masa tanam paksa pemerintah kolonial di tanah Jawa
akibat kekalahan Diponegoro, Raden Hardjodikromo berniat melepas
jabatannya sebagai carik Kalirejo. Kira-kira setahun setelah kelahiran
putra ketiganya, yakni RADEN SOEKENI SOSRODIHARJO yang tak lain adalah
ayah Bung Karno (sekitar tahun 1873), Raden Hardjodikromo memantapkan
hati melepas jabatannya sebagai carik dan berniat pindah ke kota lain.
Tulungagung
akhirnya menjadi tujuan kepindahannya. Di kota itu tinggal kakaknya
yang diperistri seorang mantri guru. Di Tulungagung, kehidupan Raden
Hardjodikromo membaik. Ia menjadi pedagang batik, selanjutnya membuka
industri kerajinan batik di rumahnya.
Kondisi
ekonomi yang cukup baik, membuka jalan bagi RADEN SOEKENI SOSRODIHARDJO
untuk menggapai cita-cita sebagai seorang guru. Saat itu guru merupakan
profesi yang dihormati, baik oleh masyarakat maupun pemerintah
kolonial.
Oleh
karena itu, selepas masa sekolah rendah tahun 1885, Raden Soekeni
memasuki Kweekschool (sekolah guru) di Probolinggo. Pada tahun 1889,
Raden Soekeni lulus dari Kweekschool dengan memuaskan. Kemudian ia
diangkat menjadi guru di kota Kraksaan, Kabupaten Lumajang, Karesidenan
Besuki, Jawa Timur.
Tahun
1891, Raden Soekeni menerima tawaran untuk mengajar pada sekolah rakyat
di Singaraja, Bali. Di Pulau Dewata itulah, Raden Soekeni menyemai
cinta dan menemukan pendamping hidup seorang gadis Bali bernama Idayu
atau Ni Nyoman Rai Sarimben, yang kelak kita mengenalnya sebagai ibunda
tercinta dari Proklamator Republik Indonesia, Bung Karno. *** (Badiatul Muchlisin Asti).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar