Sebetulnya wilayah Karangrayung dan Juwangi kaya akan potensi tanaman pisang. Hal ini diungkapkan Administratur KPH Telawa, Ir. Ronald dan juga Camat Juwangi, Marjono. Seandainya ada investor yang mau menanamkan modalnya di wilayah ini tentu akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.
Memang kalau kita pergi ke pasar Juwangi sewaktu hari pasaran dapat kita jumpai tumpukan tandan pisang baik di dalam pasar maupun disepanjang jalan. Tertarik akan topik ini penulis coba mencari ke mbah google, siapa tahu ada tulisan tentang potensi pisang di wilayah ini. berikut ini kami copykan tulisan kembaratani, Pemerhati Kehutanan dan masyarakat desa hutan, Penyuluh Swadaya Pemanasan Global dan Perubahan Iklim.
Atas saran Hadi Prayitno, KSS PHBM KPH Telawa, NASHA aku parkir di
depan sebuah toko kecil, tepat di pertigaan menuju Desa Sambong,
Kecamatan Juwangi Kabupaten Boyolali. Pasalnya, jalan dari pertigaan
itu menuju sekretariat LMDH Wana Lestari, tidak mungkin dilalui oleh
motor roda 3. Padahal, NASHA adalah motor roda 3 yang aku desain khusus
utuk dapat melaju di segala medan. “Nanti malah gak bisa pulang”
ujarnya khawatir dan aku pun menyerah berpindah keboncengan salah satu
mandor yang menjadi ‘tukang ojeg’ dadakan.
Kira-kira seratus meter dari pertigaan jalan, aku baru paham mengapa
Hadi melarangku membawa NASHA ke lokasi. Ternyata, jalan menuju LMDH
yang dipimpin Sugeng Sudjiwo, memang rusak parah. Jalan tanah
bergelombang dengan lubang-lubang memanjang yang cukup dalam, terbentang
di hadapanku. Beberapa diantaranya bertambal batu koral, tapi tetap
saja tidak membantu. Untuk saja, sang pengemudi memiliki keahlian
khusus, tampaknya sudah terbiasa dan lumayan akrab dengan medan seperti
itu.
Memasuki pemukiman masyarakat desa hutan Sambong, sebuah truk
menghalangi laju motor kami. Truk itu berada tepat di tengah jalan cor
beton yang membelah pemukiman. Sarat dengan tumpukan tandan pisang
hingga melebihi batas baknya. Disamping truk, bergerombol perempuan
desa setengah baya dengan tandan pisang di tangannya. Disodorkannya
tandan pisang yang berisi 7 – 10 sisir itu, kepada seorang lelaki muda
di atas truk.
Tandan pisang yang bertumpuk di depan rumah sederhana berdinding kayu
dan bambu milik masyarakat Sambong, merupakan pemandangan yang
kusaksikan sepanjang perjalanan. Rupanya, tandan pisang itu tengah
menunggu jemputan truk yang akan membawanya ke pasar Kecamatan Juwangi.
Setiap hari pasaran wage dan legi, pemandangan itu terus terulang entah sejak kapan dan sampai kapan.
1. Jutaan Rupiah Lewat Depan Rumah
Sekretariat LMDH Wono Lestari berupa sebuah rumah dengan ruangan
tanpa sekat yang cukup lapang. Meja panjang dengan kursi-kursi kayu
berjejer di sisi kiri ruangan. Dindingnya penuh dengan papan
organisasi, grafik, peta pangkuan, papan kegiatan dan
informasi-informasi lainnya. Satu stel kursi tamu sederhana tampak di
pojok ruangan di samping lemari kayu berisi berkas-berkas organisasi.
Sugeng Sudjiwo, Ketua LMDH Wana Lestari, menuturkan banyak hal
tentang pisang yang dihasilkan warga masyarakat Sambong yang menjadi
anggotanya. Intonasi suaranya kadang meninggi, kadang lirih, terkadang
pula seperti tidak mampu menemukan kata yang tepat untuk menggambarkan
kondisi warganya itu.
Menurut Sugeng, penghasilan pokok warga Sambong adalah pisang.
“Pisang itu penghasilan harian warga disamping mencari kayu bakar untuk
dijual. Penghasilan lainnya dari palawija, khususnya jagung setiap 3
bulan sekali” jelasnya. Setiap pasaran, lanjut Sugeng, 300 – 500 tandan
pisang dikirim ke pasar Juwangi. Satu tandan pisang dihargai rata-rata
Rp 10.000, tergantung jenis dan jumlah sisirnya.
Pasar Juwangi yang ramai setiap hari pasaran wage dan legi (2
kali dalam kurun 5 hari) adalah satu-satunya penyerap hasil panen
pisang. Dari pasar itu, pisang Sambong menyebar ke Solo, Semarang,
Jogja dan kota-kota lainnya. Jika setiap pasaran dikirim rata-rata 400
tandan dengan harga rata-rata Rp 10.000, maka setiap lima hari sekali
dana yang mengalir ke Sambong sebesar Rp 8 juta (2 kali pasaran x 400
tandan x Rp 10.000) atau sekitar Rp 48 juta per bulan.
Sugeng mengaku, LMDH tidak memungut sepeser pun dari aliran dana
pisang tersebut. “Jadi, dana sebesar itu hanya lewat saja di depan
sekretarian ini, gak pernah mampir” ujarnya tertawa. Ditanya mengapa
LMDH tidak mendapat bagian, Sugeng tampak diam sejenak. Hening pun
menyelimuti ruang sekretariat yang sekaligus rumah pribadinya itu.
“Saya tidak tega mengambilnya. Uang hasil penjualan pisang itu, untuk
menutupi kebutuhan sehari-harinya saja tidak pernah cukup, apalagi jika
dikurangi untuk LMDH” ujarnya perlahan.
2. Potensi terpendam
Hadi Pratiknyo, KSS PHBM KPH Telawa menuturkan, pisang yang ditanam
masyarakat di lahan Perhutani, sebetulnya memiliki prospek yang cukup
baik sebagai sumber kas LMDH. Potensi yang ada di wengkon LMDH Wana
Lestari tidak kurang dari 20.000 rumpun. “Tiap rumpun terdapat 3-5
pohon, maksimal 5 pohon, karena kalau lebih akan mengganggu tanaman
pokok” jelasnya.
Artinya, lanjut Hadi, LMDH saat ini memiliki potensi sebanyak 60.000 –
100.000 pohon pisang. Hal tersebut merupakan kontribusi langsung
Perhutani kepada masyarakat. Apabila dikonversi dengan nilai uang,
dengan harga penjualan rata-rata Rp 10.000, maka nilainya setara dengan
Rp 600 juta – Rp 1 Milyar. “Nilai yang cuikup tinggi. Hanya saja,
nilai sebesar itu belum cukup untuk memutar roda perekonomian desa lebih
cepat. Terkadang, masyarakat tidak melihat hal tersebut sebagai
kontribusi kami, karena memang sudah terbiasa dan tidak signifikan
membuat sebuah perubahan” ujarnya menjelaskan.
Hadi sangat menyadari, PHBM harus membawa dampak yang sangat nyata
bagi masyarakat. Kreativitas sosial ekonomi yang dilakukan oleh LMDH
dengan sharing besar, tidak mungkin dilakukan oleh LMDH di wilayah KPH
Telawa. Meskipun potensi ke arah itu cukup esar. Komoditas pisang
adalah salah satu komoditas yang memiliki prospek itu.
“Masalahnya, LMDH memiliki kearifan lain dalam upaya meraih dampak
positif dari implementasi PHBM. Mereka tidak mau mengurangi pendapatan
yang sudah rutin diperoleh masyarakat dari hasil pisang itu dan
mengalihkannya dalam wujud perbaikan sarana jalan misalnya” papar Hadi.
Menurutnya, jika dipaksakan justru akan dirasakan sebagai beban baru
oleh masyarakat. “Iya Mas, nanti malah LMDH dianggap beban. PHBM akan
dirasa mengurangi pendapatan masyarakat, walau pun sebenarnya pendapatan
mereka itu ya juga hasil PHBM” ujar Sugeng membenarkan ucapan Hadi.
Jalan keluar satu-satunya, lanjut Sugeng, mengelola hasil panen
mereka dan menjualnya langsung kepada pedagang besar. “Selama ini kan
yang beli itu tengkulak, makanya harganya murah. Tapi, kalau LMDH bisa
menjual langsung, harga yang diterima bisa lebih tinggi. Selisih
penjualan itu yang digunakan LMDH untuk mengisi kas dan membangun desa”
harap Sugeng seraya menyebutkan keinginan untuk mengembangkan industri
rumahan berbahan baku pisang.
Kendala pokok yang dihadapi LMDH, menurut Hadi adalah lemahnya
aksesibilitas terhadap informasi pasar, teknologi dan permodalan.
“Bahan baku yang berlimpah itu tidak dapat memberikan nilai tambah bagi
LMDH” ujarnya menyesalkan. Padahal, lanjutnya, kita hitung dari hal
yang kecil saja yaitu selisih harga penjualan tandan pisang. Jika LMDH
mendapat keuntungan Rp 1.000 saja per tandan, maka tiap 5 hari kas LMDH
akan terisi 800 ribu rupiah, sebulan akan diperoleh Rp 4,8 juta atau
setara dengan 56 juta rupiah setahun.
“Apalagi apabila bahan baku tersebut diolah menjadi keripik pisang,
sale pisang atau bentuk lainnya. Bahkan, kalau mungin menjadi tepung
pisang sebagai bahan baku industri penghasil makanan bayi” tutur Hadi
bersemangat. Sugeng pun berharap dapat mengolah pisang menjadi bentuk
lain agar memiliki nilai tambah. Namun, Sugeng mengaku tidak menguasai
teknologi dan pangsa pasar hasil olahannya kelak.
3. Perlu Bapak Angkat
Data dan Informasi Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian 2004,
yang diterbitkan oeh Dirjen Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil
Pertanian, Departemen Pertanian RI, Desember 2004, menunjukkan bahwa
neraca ekspor-import untuk komoditas pisang ini terus menerus mengalami
penurunan yang sangat tajam. Pada 1993, nilai ekspor pisang sebanyak
24,917 ribu ton dan nilai impornya hanya 0,03 ribu ton saja, sehingga
neracanya bernilai 24.887 ribu ton. Namun, dalam kurun waktu 10 tahun
kemudian (2003), nilai ekspor pisang tersebut menurun tajam menjadi
hanya 0,2447 ribu ton, sedangkan nilai impornya justru malah naik lebih
dari 18 kalinya, yakni 0,5636 ribu ton, sehingga neracanya minus 0,3189
ribu ton.
Nilai tertinggi ekspor pisang kita terjadi pada 1996, mencapai nilai
102,3 ribu ton dengan nilai impor sebesar 0,0669, sehingga memiliki
nilai neraca terbesar yakni 102,23 ribu ton. Namun setelah itu, nilai
ekspor pisang terus menurun dan nilai impornya justru terus menanjak.
Sehingga neraca pisang kita terus melorot sampai puncaknya pada 2003
yang menunjukan nilai minus.
Uniknya, penurunan nilai neraca ekspor impor pisang itu pun ternyata
diiringi pula oleh turunnya konsumsi perkapitanya. Pada 1996, konsumsi
perkapita pisang sebesar 9,05 kg dan terus menurun sampai 2002 hanya
sebesar 2,39 kg. Banyak hal bisa dijelaskan dari angka-angka ini.
Mulai dari anggapan bahwa bangsa kita sudah tidak suka lagi makan
pisang, banyaknya produk olahan berbahan baku pisang, sehingga
masyarakat yang mengkonsumsi buah pisang segar semakin berkurang, atau
produksi buah pisang kita menurun drastis karena petani tidak mau
menanam pisang lagi. Barangkali, petani kita memandang pisang sebagai
komoitas yang tidak menguntungkan.
Keinginan Hadi dan Sugeng untuk mengolah pisang menjadi penganan yang
siap hidang, khususnya mengolahnya menjadi tepung pisang, bisa jadi
benar-benar memiliki prospek yang cerah. Bahkan, menjadi komoditas yang
dapat mendongkrak neraca ekspor impor pisang kita. Pasalnya, industri
pengolahan berbahan baku pisang di Indonesia, khususnya tepung pisang,
masih sangat sedikit. Berdasarkan data Dirjen Bina Pengolahan dan
Pemasaran Hasil Pertanian, Departemen Pertanian RI, industri pengolahan
Keripik Pisang tercatat sebanyak 93 buah, Sale Pisang 33 buah, Getuk
Pisang 7 buah, Tepung Pisang 4 buah, Kerupuk Pisang 2 buah, Kue Pisang 2
buah dan Dodol Pisang 1 buah. Untuk tepung pisang hanya terdapat 4
buah industri, yakni 2 berbentuk perusahaan (CV. Mura Jaya Seraya di
Palembang dan PT. Mulia Donan Mas di Cilacap) serta 2 lagi berbentuk
lembaga masyarakat di Kalimanatan Selatan (Poktan Wanita Tani Durian dan
Kelompok Maju Bersama).
Meskipun di Telawa bahan baku pisang tersedia dan melimpah,
masalahnya adalah siapa yang dapat mengajari Sugeng cara membuatnya,
menunjukan pangsa pasarnya dan menyediakan permodalan yang
dibutuhkannya. Introduksi teknologi pengolahan, aksesibilitas pasar dan
permodalan, menjadi kunci percepatan signifikasi dampak PHBM bagi warga
Sambong. Setidaknya, dalam kasus yang dihadapi Sugeng Sudjiwo dan
LMDHnya, menunjukan bahwa optimalisasi ruang kelola (lahan) masih harus
diikuti oleh stimulan lainnya seperti teknologi, informasi pasar dan
modal.
Sepertinya, stakeholder yang disebutkan dalam konsepsi PHBM,
khususnya pemerintah daerah setempat, seharusnya dapat dengan leluasa
mengambil peran dalam optimalisasi ruang kelola ini. Atau, adanya
bapak angkat yang dapat memanfaatkan potensi yang dimiliki LMDH-LMDH,
menjadi sebuah harapan bagi percepatan signifikasi dampak PHBM.(http://kembaratani.wordpress.com/2008/09/10/pisang-antara-telawa-dan-semarang/#comment-381)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar